Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan
mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar
negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian
sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua
pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan
pihak ketiga.
2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
3. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa
tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi
diantara mereka.
Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
1. Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2. Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.
Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
1. adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2. dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
Selain dari pada itu berperkara melalui pengadilan:
1. lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic),
2. biaya tinggi (very expensive),
3. secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4. kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.
Sistem Alternatif Yang Dikembangkan
a). Sistem Mediation
Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah
(mediator). Dengan demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian
sengketa melalui mediator (penengah). Dari pengertian di atas, mediasi
merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan
atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara
di pengadilan). Pada mediasi, para pihak yang bersengketa, datang
bersama secara pribadi. Saling berhadapan antara yang satu dengan yang
lain. Para pihak berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga yang
netral. Peran dan fungsi mediator, membantu para pihak mencari jalan
keluar atas penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang
hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi di
antara para pihak. Dalam mencari kompromi, mediator memperingatkan,
jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari kemenangan. Sebab
kalau timbul gejala yang seperti itu, para pihak akan terjebak pada
yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari
kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I
have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu
(there is no the way).
Cara dan sikap yang seperti itu, bertentangan dengan asas mediasi:
1. bertujuan mencapai kompromi yang maksimal
2. pada kompromi, para pihak sama-sama menang atau win-win,
3. oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang menang mutlak.
Manfaat yang paling mennjol, antara lain:
1. Penyelesaian cepat terwujud (quick). Rata-rata kompromi di antara
pihak sudah dapat terwujud dalam satu minggu atau paling lama satu atau
dua bulan. Proses pencapaian kompromi, terkadang hanya memerlukan dua
atau tiga kali pertemuan di antara pihak yang bersengketa.
2. Biaya Murah (inexpensive). Pada umumnya mediator tidak dibayar.
Jika dibayarpun, tidak mahal. Biaya administrasi juga kecil. Tidak perlu
didampingi pengacara, meskipun hal itu tidak tertutup kemungkinannya.
Itu sebabnya proses mediasi dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
3. Bersifat Rahasia (confidential). Segala sesuatu yang diutarakan
para pihak dalam proses pengajuan pendapat yang mereka sampaikan kepada
mediator, semuanya bersifat tertutup. Tidak terbuka untuk umum seperti
halnya dalam proses pemeriksaan pengadilan (there is no public docket).
Juga tidak ada peliputan oleh wartawan (no press coverage).
4. Bersifat Fair dengan Metode Kompromi. Hasil kompromi yang dicapai
merupakan penyelesaian yang mereka jalin sendiri, berdasar kepentingan
masing-masing tetapi kedua belah pihak sama-sama berpijak di atas
landasan prinsip saling memberi keuntungan kepada kedua belah pihak.
Mereka tidak terikat mengikuti preseden hukum yang ada. Tidak perlu
mengikuti formalitas hukum acara yang dipergunakan pengadilan. Metode
penyelesaian bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak perlu saling
menyodorkan pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara: (a) informal, (b)
fleksibel, (c) memberi kebebasan penuh kepada para pihak mengajukan
proposal yang diinginkan.
5. Hubungan kedua belah pihak kooperatif. Dengan mediasi, hubungan
para pihak sejak awal sampai masa selanjutnya, dibina diatas dasar
hubungan kerjasama (cooperation) dalam menyelesaikan sengketa. Sejak
semula para pihak harus melemparkan jauh-jauh sifat dan sikap permusuhan
(antagonistic). Lain halnya berperkara di pengadilan. Sejak semula para
pihak berada pada dua sisi yang saling berhantam dan bermusuhan.
Apabila perkara telah selesai, dendam kesumat terus membara dalam dada
mereka.
6. Hasil yang dicapai WIN-WIN. Oleh karena penyelesaian yang
diwujudkan berupa kompromi yang disepakati para pihak, kedua belah pihak
sama-sama menang. Tidak ada yang kalah (lose) tidak ada yang menang
(win), tetapi win-win for the beneficial of all. Lain halnya
penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Pasti ada yang kalah dan
menang. Yang menang merasa berada di atas angin, dan yang kalah merasa
terbenam diinjak-injak pengadilan dan pihak yang menang.
7. Tidak Emosional. Oleh karena cara pendekatan penyelesaian
diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi, masing-masing pihak
tidak perlu saling ngotot mempertahankan fakta dan bukti yang mereka
miliki. Tidak saling membela dan mempertahankan kebenaran masing-masing.
Dengan demikian proses penyelesaian tidak ditunggangi emosi.
Sistem Arbitrase
Mengenai arbitrase, sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh Inggris dan
Amerika pada tahun 1779 melaui Jay Treaty. Berdasar data ini,
perkembangan arbitrase sebagai salah satu sistem alternatif tempat
penyelesaian sengketa, sudah berjalan selam adua abad.Sekarang semua
negara di dunia telah memiliki Undang-undang arbitrase.
Di Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV. Dengan
demikian, umurnya sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada tahun
1884. Oleh karena itu, aturan yang terdapat didalamnya sudah
ketinggalan, jika dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan.
Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain tadi, seperti:
1. sederhana dan cepat (informal dan quick),
2. prinsip konfidensial,
3. diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara profesional.
Namun, demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap
fundamental, sehingga dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediation,
minitrial atau adjusdication. Perbedaan yang dianggap fundamental,
antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive).
Biaya yang harus dikeluarkan penyelesaian arbitrase, hampir sama
adengan biaya litigasi di pengadilan. Terdapat beberapa komponen biaya
yang harus dikeluarkan, sehingga terkadang jauh lebih besar biaya dengan
apa yang harus dikeluarkan bila perkara diajukan ke pengadilan.
Komponen biaya atrbitrase terdiri dari:
(a) Biaya administrasi
(b) Honor arbitrator. (
c) Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator
(d) Biaya saksi dan ahli. Komponen biaya yang seperti itu, tidak ada
dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan,
jauh lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh dikatakan tanpa biaya atau
nominal cost.
2. Masalah sederhana dan cepat.
Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian sengketa melalui
arbitrase adalah informal procedure and can be put in motion quickly.
Jadi prinsipnya informal dan cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi
adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan
arbitrase dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian
yang memakan waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan
tahun. Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai penunjukkan arbitrase,
Rule yang disepakati atau hukum yang hendak diterapkan (governing law),
membuat proses penyelesaian bertambah rumit dan panjang.
Kelebihan tersebut antara lain:
1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
2. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif;
3. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah
yang disengketakan, jujur dan adil;
4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan
dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung
dapat dilaksanakan.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang
bersifat langsung (negtation simplister) maupun dengan penyertaan pihak
ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2. Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
3. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang terlembaga.
Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa
publik maupun perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih
banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa kontraktual (perdata).
Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
1. Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question
of fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan
kualifikasi teknis yang tinggi.
2. Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual,
sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam dokumen
(construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
3. Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact and law).
Negosiasi, Litigasi, dan Arbitrase
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang
bersifat langsung (negtation simplister) maupun dengan penyertaan pihak
ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2. Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
3. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang terlembaga.
Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik
maupun perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak
dipilih untuk menyelesaikan sengketa kontraktual (perdata). Sengketa
perdata dapat digolongkan menjadi:
- Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question
of fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan
kualifikasi teknis yang tinggi.
- Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual,
sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam dokumen
(construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
- Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact and law).
sumber :
http://hati-sitinurlola.blogspot.com/2010/06/penyelesaian-sengketa-ekonomi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/penyelesaian_sengketa_ekonomi